Minggu, 04 Januari 2015

Evvy Kartini, Ahli Nuklir Kaliber Internasional

Di Indonesia, teknologi tenaga nuklir masih menjadi hal yang asing. Namun ternyata kita boleh berbangga, sebab Indonesia justru memiliki seorang ahli yang prestasinya telah diakui dunia. Doktor rer. Nat. (rerum naturalium) Evvy Kartini adalah salah satu dari hanya sepuluh ahli sejenis yang ada di dunia. Di kalangan internasional, Evvy memiliki reputasi terhormat. Ia dikenal sebagai ilmuwan penemu penghantar listrik berbahan gelas. Bagi kebanyakan orang, gelas biasanya hanya dipergunakan sebagai barang pecah belah alat rumah tangga. Namun tidak begitu bagi Evyy Kartini. Karena itulah, saat mendapat kesempatan belajar di Jerman, ia mulai menjajaki penelitian terhadap material gelas. Saat itu sarjana Fisika lulusan Institut Teknologi Bandung itu magang di Hahn Meitner Institute (HMI) di Berlin, Jerman, 1990. Evvy pun dibimbing ahli hamburan neutron Prof. Dr. Ferenc Mezei. Adapun karier penelitian Evvy dimulai ketika menyelesaikan S2-nya. Waktu itu ia berhasil menemukan model baru difusi dalam material gelas. Evyy kemudian membuat berbagai penelitian dari bahan gelas. Seperti saat ini, ia membuat baterai mikro yang dapat diisi ulang. Baterai yang merupakan hasil proses dengan metode teknik hamburan neutron itu, mampu menghasilkan daya yang lebih besar dibanding baterai yang ada saat ini dan juga ramah lingkungan






MARUNI WIWIN DIARTI
Penemu Senyawa Antimikroba dari Rumput Laut

Seperti halnya makhluk hidup lain di jagat raya ini, sifat antagonismenya beragam spesies bakteri juga sebuah keniscayaan. Namun bagaimana sifat penentangan maupun perlawanan antar bakteri itu “didamaikan” agar bermanfaat bagi orang banyak. Khususnya bagi dunia kedokteran, bukan hal mudah untuk diwujudkan. Namun, Maruni Wiwin Diarti (Wiwin) justru tertantang oleh kesulitan itu. Lewat kajiannya, warga Desa Lembuak, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), ini berhasil menemukan obat anti mikroba dari bakteri rumput laut, kemudian mendapat Anugerah Teknologi Terapan dari Pemerintah Provinsi NTB, Desember 2003 di Mataram.





NENY NURAINY
Penemu Varian Virus Hepatitis B Spesifik Indonesia

Perempuan muda kelahiran kota kembang, Bandung, 14 Februari 1974 ini, Alhamdulillah telah berhasil menemukan varian virus hepatitis B khas Indonesia setelah memeriksa darah pasien yang positif mengandung HbsAg, yakni antigen pada selubung terluar Hepadna viridae (nama ilmiah virus hepatitis B).

Penelitian ini merupakan penelitian terbaru dalam dunia biologi molekuler virus. Dan merupakan berkah bagi perkembangan antibiotika dan proses penyembuhan pasien hepatitis B yang kini jumlahnya kian hari kian meningkat.

Dengan metode yang dikembangkannya dan diberi nama ELISA (enzyme-linked immunisorbenty assay), Neni berhasil membedah dan memilah virus yang mematikan itu dalam serotipe: adw, adr, ayw dan ayr. Dengan demikian, virus penyerang tersebut berhasil diklasifikasikan berdasarkan genotipe perbedaan susunan nukleotida pada DNA (deoxyribo nucleic acid)-nya. Ada delapan genotipe yang berhasil ditemukan: A, B, C, D, E, F, G dan H, dimana genotipe tersebut terbagi lagi dalam sub-sub genotipe, misalnya: Ba, Bwi (B west indonesia), Bei (B east indonesia), Bci (B chinese indonesia) dan Bj untuk genotipe B. 

Dengan penemuan metode baru ini maka tes DNA virus yang sebelumnya bisa memakan waktu lama dan harga yang sangat tinggi, bisa ditekan dengan harga yang jauh lebih murah dan cepat. Bahkan diagnosis dokter akan lebih fokus serta lebih spesifik pada sasaran dan dapat benar-benar memberikan serangan penghancur terhadap virus.

Tak ayal, penemuan Neni ini sangat membantu pasien dalam menentukan terapi apa yang paling tepat bagi diagnosis penyembuhan penyakit hepatitisnya. Selain itu juga bisa digunakan untuk perbedaan membuat manifestasi klinik penyakit hepatitis B. Sehingga perkembangan akumulasi hepatitis menjadi akumulasi hepatitis akut, sirosis hati atau kanker hati akan terdeteksi dan tercegah sejak dini.

Neni sendiri menemukan metode ini pada waktu menyelesaikan program doktoral ilmu biomedik di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Penelitian yang dilakukan di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (Lembaga Eijkman) ini sebenarnya pada mulanya adalah penelitian untuk program master. Namun karena penemuannya dianggap spektakuler oleh ahli hepatitis, dr. David Handojo Muljono, SpPD, PhD. dan ahli biologi molekuler dr. Herawatie Sudoyo, PhD., Neni dipromosikan menjadi mahasiswa S3 sekaligus tesisnya dijadikan sebagai penelitian program doktoral. Apalagi nilai akademik Neni dalam program pasca sarjana Biomedik sangat memungkinkan untuk melanjutkan jenjang doktoral ini.







WIDOWATI SISWOMIHARDJO
Penemu Bahan Baru untuk Gigi Palsu yang Lebih Aman dan Murah  

Sebagai lulusan fakultas kedokteran gigi, ia tentu bergelar dokter gigi. Bahkan, ia juga menyandang gelar doktor dengan disertasi seputar gigi. Tapi, percaya atau tidak, ia sama sekali belum pernah mencabut gigi pasien. Ia juga mengaku, salah satu gurunya di bidang gigi ini adalah seorang seniman. Itulah Dr drg Widowati Siswomihardjo MS. Dengan terus terang, ia mengaku selalu berusaha menghindari kemungkinan mencabut gigi pasien. "Benar. Bukan pasien yang kabur karena giginya harus dicabut, justru saya yang tunggang langgang tiap kali harus mencabut gigi," ujar dosen dan peneliti di UGM ini. Widowati mengaku kurang pede (percaya diri) tiap kali harus berhadapan dengan pasien yang hendak mencabutkan gigi. Maklum, ia mengaku takut melihat darah dari mulut pasien. Ia juga mengaku tidak bisa menemukan nikmatnya praktik dokter gigi.

Tak aneh, meski bergelar dokter gigi, ia sama sekali tidak pernah praktik. Kok bisa lulus kedokteran gigi?

Putri mantan Rektor UNS Solo Prof Dr Kunto Wibisono Siswomihardjo ini mengaku mengambil bagian non-klinik dan menekuni kedokteran gigi bagian ilmu bahan. Tapi, kan ada masa pengabdian masyarakat? Widowati, rupanya, punya "resep" agar terhindar dari mencabut gigi orang. Mestinya, tiap mahasiswa atau dosen harus menjalani pengabdian masyarakat sebagai syarat pencapaian akademik. Tapi, Widowati selalu memilih bagian diagnosis awal pasien. Dengan begitu, ia tidak harus mencabut gigi. "Tiap ada pengabdian masyarakat, saya ambil bagian paling ujung, bagian memeriksa mulut pasien. Setelah itu, saya arahkan pasien ke teman-teman yang siap mencabut. Jadi, ya saya tidak pernah mencabut gigi," kilahnya.  

Dengan alasan sama, Widowati mengaku menyukai pengabdian masyarakat di sekolah, khususnya SD. "Gigi anak kan masih bagus, rapi. Di sini, yang lebih perlu justru penyuluhan agar anak-anak itu tidak sampai mencabut gigi. Jadi, pengabdian sebagai syarat akademik tetap jalan tanpa harus mencabut gigi," selorohnya.

Meski begitu, prestasi lulusan FKG UGM 1982 ini tergolong tidak biasa. Nyatanya, ia menemukan polyester yang bisa dijadikan bahan alternatif pembuatan basis gigi tiruan murah. Temuan itu ia kembangkan dari penelitian untuk disertasi doktor di Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya 1999 dengan promotr Prof Dr Soekotjo Djokosalamoen.

Polyester EBP-2421 temuannya, menurut Widowati, jauh lebih murah daripada resin Akrilik yang dipakai di dunia kedokteran gigi sejak 1937. "Bahan ini juga mudah diperoleh di dalam negeri," kata wanita yang mengaku bercita-cita jadi diplomat ini. Ia lantas membandingkan. Resin akrilik yang selama ini dipakai harus diimpor. Harganya ratarata Rp 400 ribu per kilogram. Polyester, kata ia, dibuat di Tangerang dan harganya Rp 25 ribu per kilogram. "Secara kimiawi, bahan ini juga lebih aman bagi pemakai dan waktu pembuatan lebih pendek," urainya.

Keamanan bahan ini bagi manusia itulah yang kini sedang dipatenkan Widowati. Untuk itu, ia sudah mencobakan polyester ke hewan percobaan dan biakan sel sebagai prosedur ilmiah sebelum ke manusia. Dengan bantuan peneliti senior dari kedokteran farmasi, kedokteran hewan, MIPA Kimia dan fisika, hingga teknik mesin, telah pula dilakukan uji mutagenik. Hasilnya?

"Bahan ini tidak menyebabkan kanker atau efek negative lainnya. Jadi, memang aman," tutur penerima penghargaan peneliti dari UGM ini.

Bila bahan ini diterima sebagai bahan basis gigi tiruan, kata Widowati, akan ada penghematan luar biasa di dunia pendidikan dokter gigi. Widowati lalu menggambarkan, tiap tahun 90-100 mahasiswa FKG harus praktikum membuat model gigi. Itu hanya di satu universitas. Padahal, ada belasan universitas yang punya FKG. "Dengan harga jauh lebih murah, biaya praktik tentu jauh lebih hemat," jelasnya. (Erwan W) --- Sumber: Harian Jawa Pos, 29 Februari 2004.






RAHMIANA ZEIN
Penemu Teknik Pemisahan Cairan dalam Kecepatan Tinggi
 

Danau Maninjau di Kabupaten Agam, Sumatra Barat, tak cuma terkenal indah oleh panoramanya, melainkan juga sejumlah tokohnya. Dari sini lahir ulama dan sastrawan Buya HAMKA dan Dr. Mohammad Natsir, ulama dan politisi pendiri Partai Masyumi yang pernah menjabat sebagai Perdana Mentri RI. Di abad milenium ini, muncul pula Prof Dr. Rahmiana Zein, 46 tahun, penemu teknik kromatografi tercepat di dunia.

Keberhasilan ini diperoleh istri Prof. Dr. Edison Munaf, Pembantu Rektor II Universitas Andalas itu saat penelitian untuk disertasi doktor bidang kimia dibawah bimbingan Prof. Toyohide Takeuchi, di Universitas Gipu, Jepang pada 1998. Kromatografi memang bukan ilmu baru. Pemisahan senyawa kimia memanfaatkan interaksi antara pelarut, sampel yang akan dipisahkan, fase diam (stationary phase) dan fase bergerak (mobile phase) ini telah berkembang seabad silam. Setelah T. Swett berhasil memisahkan zat warna dedaunan tahun 1903.

“Pisau pembedah” senyawa kimia yang cepat dan simultan ini terus berkembang ke bidang lain. Terutama ilmu kedokteran, pertanian, peternakan, biologi dan lingkungan. Izmailov dan Schaiber misalnya, pada 1938 menggunakan teknik ini untuk memisahkan senyawa lapisan tipis. Lalu Martin dan James, tahun 1952, memakainya untuk membedah senyawa gas. Namun jika sebelumnya para peneliti perlu waktu antara 1.000 dan 100 menit, adik kandung Mayor Jendral (purnawirawan) Kivlan Zein itu hanya butuh 10 menit!

Teknik ini terus berkembang dan kian populer berkat ditemukannya teknik HPLC (high performance liquid chromatography). Teknik pemisahan cairan dalam kecepatan tinggi dengan fase diam berukuran terkecil 10 mikrometer. Bahkan Dido Ishii, guru besar emeritus Universitas Nagoya memperkecil kolom mikro menjadi 0,5 milimeter. Sejak 1980-an, dikembangkan jadi 0,2 milimeter dan panjang 10 sentimeter. Oleh Rahmi, begitu ibu tiga anak ini biasa disapa, kolom itu diperkecil lagi jadi 5 mikrometer, panjang 10 sentimeter dan kedalaman 0,35 milimeter. Dengan bejana itu, screening serum sapi yang ditelitinya dapat didiagnosis kurang dari 10 menit. Cara yang sama ia lakukan untuk mengetahui kandungan yang terdapat dalam urin, air ludah, darah dan air sungai. Bahkan untuk diagnosis senyawa kanker jenis poliaromatik hidrokarbon (PAH), pencemaran akibat bahan bakar minyak atau asap rokok.

Wanita berkulit hitam manis ini dikukuhkan jadi guru besar pada Agustus 2003. Dengan teorinya, Rahmi menjawab teka-teki bagaimana Allah menciptakan Nabi Adam dan Hawa dari tanah sehingga jadi manusia. Katanya, Nabi Adam dan Hawa memang diciptakan dari tanah yang mengandung zat kimia, diantaranya protein. Lalu, sesuai kaidah kromatografi, protein itu berproses sehingga jadi fisik manusia. Kini makanan di tubuh manusia pun mengalami proses kromatografis. Lalu dihasilkan ion-ion yang berguna bagi tubuh dan sisanya terbuang melalui urin dan feses. Artinya, kehidupan sehari-hari mengikuti kaidah kromatologi. Bahkan penderita kelainan ginjal menjalani proses cuci darah mengikuti teknik ini.

Rahmi tak mematenkan hasil penelitiannya karena diburu tenggat studi. Ia harus mempublikasikan hasil penelitiannya di beberapa media internasional. Akibatnya, hak untuk mempatenkan temuan itu pun hilang. Toh, ia bangga, hasil penelitiannya terus dimanfaatkan oleh para peneliti. Tahun lalu misalnya, seorang peneliti dari Amerika yang merujuk teorinya berhasil memperbaiki sensitifitas dan resolusi kecepatan diagnosis delapan jenis anion secara serentak dalam waktu semenit.

Namun ia menyayangkan, dikala diagnosis pencemaran lingkungan kini kian murah dan cepat, Rp 5.000,- per 10 ion, banyak kasus lingkungan di Tanah Air belum diteliti. Misalnya limbah rumah sakit yang mengandung racun phenol, pembersih alat-alat kedokteran, dibiarkan mengalir ke sungai-sungai di perkotaan. “Yang belum ada cuma kesamaan sikap pemerintah dan pengusaha industri untuk menanggulangi pencemaran itu”, katanya.

Rahmi, kini Kepala Laboratorium Kimia Lingkungan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas, terus berkarya. Lebih dari 10 jenis tanaman alam diolahnya jadi alat netralisasi zat kimia. Di antaranya dari kulit manggis, ampas tebu dan sabut kelapa sawit. Ia juga menulis artikel bidang kromatografi di media internasional. Misalnya di jurnal Analytica Chimica Acta, Chromatographia dan Environmental Technology. “Biarlah tak dipatenkan. Tujuan ilmu itu adalah kebaikan bagi manusia. Dan saya berharap, Allah menerima jadi amal jarizah saya”, katanya.